Dangdutinaja.com | Bekasi, 24 Oktober 2024 — Riki Kelly, SH & Partner, kuasa hukum Hj. Holilah, pemegang izin garap atas lahan di Jalan Inspeksi Kalimalang, Jakasampurna, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, menggelar mediasi pada Kamis, 24 Oktober 2024. Mediasi tersebut dihadiri oleh pihak Kelurahan Jakasampurna, perwakilan Kementerian PUPR, dan kuasa hukum untuk menyelesaikan masalah penggusuran lahan yang dihadapi Hj. Holilah.
Dalam keterangannya kepada media, Riki Kelly, SH, menyoroti adanya kejanggalan terkait kepemilikan lahan tersebut. "Aneh, di lahan garapan milik pemerintah bisa terbit Girik atas nama pribadi. Hj. Holilah adalah pemegang izin garap sah sejak tahun 2000, dibuktikan dengan Nomor Objek Pajak (NOP) yang dikeluarkan Dinas Pajak. Hj. Holilah juga merupakan warga taat pajak, dengan bukti pelunasan PBB terbaru pada tahun 2024," ungkap Riki.
Kronologi Sengketa Lahan
Hj. Holilah mendapatkan izin untuk menggarap lahan tersebut pada tahun 2000, sesuai dengan izin yang dikeluarkan pihak kelurahan dan kecamatan, yang menyatakan bahwa lahan tersebut adalah tanah milik Kementerian PUPR. Namun, pada tahun 2013, Kementerian PUPR dan Pemerintah Daerah Bekasi melakukan pembebasan lahan, yang diklaim sudah menerima ganti rugi atas nama M. Taman, ahli waris H. Jailani Taman, berdasarkan girik yang diterbitkan.
Menurut Riki, Hj. Holilah tidak menerima pemberitahuan atau mediasi terkait pembebasan lahan tersebut. “Pada 2013, klien kami tidak menerima surat panggilan untuk mediasi atau penggantian lahan. Barulah pada 2024, beliau mendapat surat pengosongan lahan secara mendadak,” jelasnya.
Riki menduga adanya indikasi keterlibatan mafia tanah dalam kasus ini. "Lahan yang dinyatakan milik pemerintah tiba-tiba memiliki girik atas nama pribadi. Ini membuka dugaan keterlibatan mafia tanah," tegasnya. Ia juga meminta aparat penegak hukum serta instansi terkait untuk memberantas praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat dan negara.
Tinjauan Hukum: Surat Izin Garap, Girik, dan Penggusuran
Dalam peraturan agraria Indonesia, girik adalah bukti penguasaan tanah secara adat dan bukan sertifikat hak milik. Meski begitu, girik masih diakui sebagai bukti kepemilikan untuk tanah yang belum bersertifikat. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tanah milik negara tidak dapat diterbitkan girik, karena tidak termasuk dalam hak milik pribadi. Berdasarkan Pasal 33 dan 34 UUPA, tanah yang dikuasai negara bisa saja dikelola atau digarap oleh masyarakat melalui izin pengelolaan atau izin garap, namun tidak beralih menjadi kepemilikan pribadi.
Dalam kasus ini, lahan yang diklaim oleh Hj. Holilah sebagai lahan garapan milik negara di bawah Kementerian PUPR seharusnya tidak dapat diterbitkan girik atas nama pribadi, sesuai ketentuan UUPA. Penggunaan girik oleh pihak lain sebagai dasar pembebasan lahan untuk proyek pemerintah menimbulkan dugaan maladministrasi, yang juga dapat dikaitkan dengan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyerobotan tanah.
Upaya Perlindungan Hukum untuk Penggarap Tanah
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan bahwa masyarakat yang memiliki bukti penguasaan tanah, seperti izin garap yang sah, wajib diikutsertakan dalam musyawarah pengadaan tanah dan memperoleh ganti rugi yang adil dan layak. Dalam kasus Hj. Holilah, absennya mediasi atau musyawarah sejak 2013 memperlihatkan potensi pelanggaran UU tersebut.
Pengacara Hj. Holilah juga menuntut adanya perlindungan lebih lanjut dari pemerintah dalam pemberantasan mafia tanah, yang telah disuarakan oleh Presiden dalam Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, di mana pemerintah pusat hingga daerah diinstruksikan untuk mencegah dan menindak mafia tanah serta menyelesaikan konflik pertanahan.
Harapan Penyelesaian
Riki Kelly, SH, mendesak pihak PUPR dan pemerintah setempat untuk melakukan verifikasi ulang atas kepemilikan girik tersebut dan memastikan pengosongan lahan sesuai prosedur hukum yang berlaku. "Kami berharap ada solusi yang adil bagi Hj. Holilah sebagai pemegang izin garap sah, serta langkah tegas untuk memberantas praktik mafia tanah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan negara," tutupnya.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dalam penerbitan dokumen tanah serta perlunya transparansi dalam proses pembebasan lahan untuk kepentingan umum agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak penggarap sah maupun pemerintah.
0 Komentar