Dangdutinaja.com | Morotai - Suasana hangat penuh nostalgia meliputi kunjungan Ketua DPR RI Puan Maharani di Kabupaten Morotai, Kepulauan Halmahera Maluku Utara pada Selasa (08/02/2022) kemarin. Kunjungan Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno pada 1957 silam yang meninggalkan kesan amat dalam di hati masyarakat Morotai hingga hari ini, membuat kunjungan Puan, yang adalah cucu langsung dari sang proklamator, disambut dengan antusiasme yang besar dari masyarakat Morotai. Beberapa orang saksi hidup yang ikut terlibat dalam penyambutan Presiden Sukarno kala itu, bahkan menyempatkan hadir dan berbincang serta berfoto bersama dengan Ketua DPR RI perempuan pertama itu.
“Ketika Bung Karno datang ke sekolah kami di Morotai pada 1957 itu, saya bertugas membawa baki berisi gunting yang akan digunakan untuk menggunting pita peresmian Gedung sekolah kami. Saat itu, usia saya 17 tahun,” ujar Rosalina Sasue, warga Morotai asal Tiley Pantai, salah seorang saksi sejarah yang hadir mengenang. Ia mengaku sangat bangga terlibat menjadi bagian dari penyambutan Presiden Sukarno kala itu.
Selain Rosalina, beberapa saksi sejarah lain juga turut hadir dalam acara tersebut dan bercerita tentang peran yang mereka ampu dalam acara kedatangan Sukarno. Para saksi sejarah itu dengan penuh bangga menceritakan kenangannya.
Harniaty Mulyono yang kini tinggal di Desa Joubela, misalnya. Ia mengaku masih dapat mengingat dengan baik kenangan ketika melakukan pengalungan bunga di depan sekolahnya ketika Presiden Sukarno tiba.
“Saya juga sempat menari bersama Bung Karno ketika beliau berkunjung ke jamuan yang diadakan di rumah camat Morotai kala itu,” kata Harniaty.
Sementara Muhajir Kololi yang tinggal di Desa Sabatai, merupakan salah satu anggota paduan suara yang bernyanyi di depan Sukarno. Menurutnya, rasa bersemangat meliputi seluruh anggota paduan suara yang tampil saat itu. Ia pun mengaku terbawa dalam suasana tersebut dan ikut bernyanyi sepenuh hati.
Selain Muhajir, Adelheid M. Salawati Piether yang saat kunjungan Sukarno itu menjadi dirijen paduan suara, juga kerap menceritakan kenangannya. Pada sebuah media lokal, Adelheid pernah berkisah tentang seriusnya persiapan yang dilakukan oleh sekolahnya, hingga untuk memilih dirijen pun, ada proses seleksinya. Ia ingat, saat itu ada tiga kandidat dirijen yang ikut dalam seleksi. Ketiga kandidat itu diuji cara menyanyi dan cara mengkonduktori paduan suara.
“Dari tes itu, saya yang terpilih,” kata Adelheid. Ia masih menyimpan fotonya saat menjadi dirijen.
Perempuan yang 2022 ini berusia 80 tahun itu berdiri di sebuah kursi, memandu teman-temannya menyanyi, sementara Bung Karno duduk santai disebuah kursi didekat tempat Adelheid berdiri, menyaksikan dengan penuh perhatian aksi anak-anak paduan suara menghiburnya dengan beberapa lagu.
Saksi sejarah lain yang juga hadir dalam kunjungan Puan ke monumen Ir. Sukarno di Kawasan Study and Sport Center itu juga ada Sarifudin Lanoni dan Icong yang turut menjemput Sukarno di Pelabuhan.
Seusai memberi sambutan peresmian, Puan menuruni podium dan langsung menghampiri para saksi sejarah yang sedianya akan dipanggil naik ke atas panggung untuk berfoto Bersama Ketua DPR RI perempuan pertama itu. Wajah para saksi sejarah itu berseri-seri menyambut cucu sang proklamator yang menghampiri, menyalami mereka satu persatu dan mengajak foto bersama. Di mata para saksi sejarah itu, kenangan seperti hidup kembali, diwakili oleh hadirnya Puan.
Masyarakat Morotai secara umum memang masih menyimpan kenangan mendalam tentang Presiden Sukarno yang jejaknya cukup banyak bisa ditemukan di daerah tersebut.
Morotai dahulu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan Tidore, kerajaan yang menguasai kepulauan moro di Halmahera hingga Papua. Pada 1950 Tidore bergabung dengan Republik Indonesia bersamaan dengan berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Desember 1949.
Tidore juga merupakan aktor yang aktif dalam mempersatukan wilayah Indonesia dan menjadi bagian penting dari pembentukan provinsi perjuangan Irian Barat di tahun 1956. Di tahun itu pula Sultan Zainal Abidin diangkat sebagai Gubernur Irian Barat dan Tidore sebagai ibukotanya. Kini Tidore adalah Ibukota provinsi Maluku Utara. Begitu penting pengaruh dan wilayah kekuasaan kesultanan Tidore bagi kesatuan negara Indonesia, Presiden Sukarno mengajak Sultan Zainal Abidin Syah hingga dua kali untuk membawa seluruh wilayah Tidore termasuk Papua bergabung ke NKRI.
Hubungan baik Sukarno dengan Sultan Zainal Abidin Syah itu membuat Morotai memiliki tempat tersendiri dalam hati Sukarno, demikian pula sebaliknya. Masyarakat Morotai menyimpan nama Presiden pertama itu dengan takzim hingga kini.
0 Komentar