Header Ads Widget

Header Ads

Ticker

6/recent/ticker-posts

Judi, Bank, dan Regina


 
Oleh Mahar Prastowo | 


Regina, 26 tahun. Nama yang mungkin tak akan Anda temukan dalam daftar tokoh keuangan Indonesia. Tapi minggu ini, seluruh Jambi—dan mungkin sebagian Indonesia—membicarakannya. Ia bukan menteri, bukan pejabat, bukan ekonom, bukan juga pengusaha fintech. Tapi ia berhasil membobol Rp7,1 miliar dari sistem perbankan daerah. Sendirian. Tanpa pistol. Hanya dengan pena, tanda tangan palsu, dan kepercayaan.

Banknya? Bukan swasta nasional atau bank digital. Tapi bank daerah: Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jambi cabang Kerinci.

Nasabahnya? Bukan konglomerat. Tapi para guru honorer Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Orang-orang yang hidup dari gaji bulanan, yang meminjam uang untuk mengangsur sepeda motor, memperbaiki rumah, atau membayar biaya sekolah anak.

Dan yang paling mengiris: uang itu sebagian besar lenyap di meja judi online.

---

Satu Tanda Tangan

Regina memulai karier sebagai analis kredit. Jabatan biasa, tapi krusial. Ia bukan teller yang menerima uang, bukan pula manajer cabang. Tapi ia berada di tengah-tengah: yang menilai apakah permohonan pinjaman itu layak atau tidak.

Lalu datanglah satu nasabah, yang memberi kepercayaan. Sebuah awal dari banyak kejatuhan. Ia diminta mewakili untuk menarik uang.

Mungkin awalnya ia tak berniat menipu. Tapi kepercayaan itu disalahgunakan. Regina mulai “ngide” kata polisi. Istilah anak muda sekarang untuk tindakan nekat, kreatif tapi sesat.

Dengan kepercayaan sebagai pintu masuk, Regina mulai memalsukan tanda tangan nasabah lain di slip penarikan dana. Ia bilang pada teller bahwa ia mewakili mereka semua. Karena ia bagian dari sistem, tak ada yang curiga.

Lalu terjadilah: dari September 2023 hingga September 2024, 27 rekening dikuras. Rata-rata Rp400 juta hingga Rp1 miliar tiap rekening. Totalnya Rp7,1 miliar.

---

Judi Online: Candu Baru, Korupsi Lama

Regina bukan orang pertama yang masuk penjara karena judi online. Tapi dia termasuk yang tercepat menghabiskan uang. Dalam sekali setor, ia bisa deposit hingga Rp70 juta ke akun judi online-nya. Itu lebih banyak dari total gaji seorang guru PPPK setahun.

Ketika ditangkap, sisa saldonya tinggal Rp80.000.

Kecanduan judi online memang bukan hal baru. Tapi saat yang kecanduan adalah orang dalam sistem, maka uang rakyat ikut terbakar. Modusnya sederhana: rekening palsu, tanda tangan palsu, sistem lemah, pengawasan longgar. Hasilnya luar biasa: uang negara hilang, kepercayaan masyarakat runtuh.

---

Terbongkar dari Guru yang Gagal Pinjam

Kasus ini tak akan terbongkar jika bukan karena kegigihan seorang guru bernama Mita Ayu. Ia mengeluhkan kenapa gajinya tiap bulan dipotong untuk angsuran pinjaman yang tak pernah ia terima. Ia lapor ke pimpinan cabang. Kepala cabang bingung, lalu mengecek sistem transaksi. Ternyata: uang pinjaman sudah cair. Tapi tidak pernah diterima.

Dari sinilah lubang menganga itu terbuka.

Regina ternyata telah menarik dana atas nama 24 pemohon kredit guru PPPK, satu nasabah tabungan biasa, dan satu yayasan: Baitul Husna. Semua slip penarikan punya tanda tangan yang sama: palsu.

Teller tak curiga. Mungkin karena terbiasa. Mungkin karena malas cek ulang. Mungkin karena sistem terlalu percaya pada sesama karyawan. Tapi seperti kata orang bank tua: kepercayaan adalah mata uang yang paling mudah dicetak dan paling cepat kehilangan nilai.

---

Di Mana Sistemnya?

Ini bukan cuma soal Regina. Tapi juga soal bagaimana sistem bank daerah bekerja. Apakah mungkin selama setahun penuh, tidak ada audit internal yang mendeteksi anomali transaksi sebesar itu? Kenapa sistem digital tak mengirim alarm saat satu orang menarik dana dari puluhan rekening berbeda?

Lalu bagaimana proses pencairan dana pinjaman bisa berjalan tanpa kehadiran peminjam? Di bank? Tahun 2024?

Ini juga menyentuh soal gaji guru PPPK, yang menjadi korban sistem dua kali: pertama saat mereka hanya digaji kecil, kedua saat dana pinjamannya digasak oleh orang dalam bank.

---

Pelajaran dari Kerinci

Regina sekarang terancam 15 tahun penjara dan denda Rp500 miliar. Hukuman yang berat untuk perempuan muda 26 tahun. Tapi yang lebih berat adalah membangun kembali kepercayaan publik pada sistem keuangan, terutama bank daerah.

Dan yang lebih berat lagi: mengembalikan hak-hak 27 nasabah yang sebagian besar adalah guru. Merekalah korban sesungguhnya.

Uang boleh diganti, sistem bisa dibenahi. Tapi luka dari pengkhianatan kepercayaan? Itu sulit sembuh.

---

Karena di balik slip penarikan yang palsu, ada air mata yang nyata.
Dan di balik Rp7,1 miliar yang hilang, ada masa depan rakyat kecil yang ikut runtuh.

Posting Komentar

0 Komentar