![]() |
| Malam penutupan Gawai Dayak Sintang ke-12/2025 |
Oleh: Mahar Prastowo | untuk DangdutinAja.com
Kalau bicara Kalimantan, sebagian orang mungkin langsung ingat hutan, emas, atau IKN. Tapi bagi saya, ada satu yang tak bisa dilupakan: semangat orang Dayak dalam menjaga budaya — dan selera musiknya yang makin lentur. Di tengah dentuman gong dan suara sapek, jangan kaget kalau tiba-tiba terdengar… koplo.
Saya menyaksikannya sendiri. Sabtu malam (19/7/2025), di halaman Rumah Betang Tampun Juah, Jerora Satu, Kabupaten Sintang. Malam penutupan Gawai Dayak ke-12. Ribuan orang tumpah ruah. Lampu-lampu terang, makanan adat berjejer, dan di ujung sana... panggung terbuka berdiri megah. Siap jadi tempat unjuk gigi para seniman lokal. Tapi bukan hanya penari dan pemusik adat — ada juga penampil dari genre yang tidak ada di kamus nenek moyang Dayak: dangdut remix.
Saya sempat geleng-geleng kepala. Di satu sisi panggung, para pemuda dan pemudi menari ngajat — tarian kebanggaan Dayak. Di sisi lain, penonton mulai goyang pelan-pelan, mengikuti irama yang lebih nge-beat. Mulai dari “Lagi Syantik” sampai “Ojo Dibandingke”, semua keluar dengan aransemen Dayak-dangdut yang menggelitik. Gendang Dayak ketemu kendang koplo. Hasilnya? Goyangan bersatu tanpa skrip.
Inilah Sintang hari ini. Budaya lokal tetap dijunjung tinggi, tapi musik rakyat — apalagi dangdut — tak dipinggirkan. Justru dirangkul. “Karena dangdut itu sekarang juga budaya kita,” kata Reva, salah satu panitia muda Gawai. Ia mengatur giliran tampil dari penari tradisional, penyanyi akustik, hingga grup dangdut lokal.
Saya bertemu dengan salah satu penyanyi yang tampil malam itu. Namanya Putri Yuni, usia 24 tahun, rambut panjang, suara khas dangdut koplo. Tapi malam itu ia tampil beda. Baju adat Dayak dengan hiasan manik warna-warni menyelimuti tubuhnya. “Aku pengin jadi jembatan, Bang. Lagu-lagu rakyat bisa dibawain tanpa ninggalin budaya kita,” ujarnya.
Putri menyanyikan lagu Kandas sambil sesekali menyelipkan gerakan tarian Dayak. Penonton bersorak. Tidak ada sekat. Para tetua adat yang duduk di deretan depan ikut senyum-senyum. “Yang penting sopan. Jangan goyang sampai lepas adat,” kata salah satu di antaranya, tertawa.
Polisi juga hadir, lengkap dengan seragam dan senyum. Mereka tidak hanya jaga keamanan, tapi juga ikut menikmati suasana. Kapolres Sintang yang baru, AKBP Sanny Handityo, bahkan terlihat ikut bergoyang kecil sambil berbincang dengan tokoh adat. “Ini pesta rakyat, jangan kaku,” katanya ringan.
Begitulah Gawai Dayak tahun ini. Tidak hanya jadi ruang pelestarian, tapi juga ruang pertemuan. Gong dan gendang bisa akur dengan kendang koplo. Pakaian manik bisa berbaur dengan suara serak-serak penyanyi dangdut kampung. Tidak ada yang dipaksa menyeragamkan, semua diberi tempat.
Di ujung malam, ketika langit sudah gelap dan angin mulai dingin, suara terakhir yang terdengar bukan seruan adat, tapi… “Ayo semua, goyang bareng-bareng!” Dan semua pun bergoyang — dari anak muda sampai bapak-bapak bersarung. Sintang pun menyatu dalam nada dan irama.
Mungkin, ini yang disebut dangdut rasa Dayak.
Atau Dayak rasa dangdut.
***

0 Komentar