Header Ads Widget

Header Ads

Ticker

6/recent/ticker-posts

Dari Habibie hingga Generasi Kini: Pola Penghargaan yang Berulang

Gambar hanya ilustrasi 

Dangdutinaja.com | Pekanbaru - Di tengah derasnya arus globalisasi, sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan kembali mencuat ke permukaan: rendahnya apresiasi sebagian masyarakat terhadap produk dan karya anak negeri. Bukan hanya dalam bentuk barang, kecenderungan memilih “yang dari luar” kini juga merambah ke dunia informasi, media, hingga profesi jurnalis lokal yang kerap dipandang sebelah mata.

Fenomena ini bukan terjadi di lingkar masyarakat umum saja. Mantan ASN, mantan pejabat, dan tokoh-tokoh yang sebelumnya berperan dalam pengambilan kebijakan pun sering kali lebih memilih produk atau layanan dari luar ketimbang karya lokal. Branding besar, citra mewah, serta persepsi bahwa “produk luar lebih berkualitas” menjadi alasan klasik yang terus berulang.

Padahal, kualitas jurnalis lokal— termasuk media daerah — tidak kalah dari media nasional ataupun asing. Banyak dari mereka bekerja keras, memahami kultur masyarakat, dekat dengan akar persoalan, dan menyediakan informasi dengan kedalaman yang tidak bisa diberikan oleh media luar. Namun, apresiasi terhadap mereka sering terbentur oleh mentalitas yang masih memuja label luar negeri.

Sikap ini membuka ironi yang lebih besar: mengapa kita begitu sulit mengakui kemampuan bangsa sendiri?

Contoh paling nyata terlihat dalam sejarah. Presiden ketiga Republik Indonesia, B.J. Habibie, dikenal sebagai putra bangsa dengan kecerdasan luar biasa. Namun, kemampuan itu justru lebih dihargai dan berkembang di luar negeri sebelum akhirnya kembali menjadi kebanggaan nasional. Gambaran itu menunjukkan bahwa penghargaan terhadap talenta lokal sering muncul terlambat, ketika semua bukti sudah terlalu jelas untuk dibantah.

Di berbagai sektor, pola ini terus berulang. Karya anak negeri baru dianggap berharga setelah mendapat pengakuan internasional. Sementara di dalam negeri, banyak talenta, inovator, seniman, hingga jurnalis muda harus bekerja lebih keras hanya untuk mendapatkan pengakuan yang seharusnya bisa diberikan tanpa syarat.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian pejabat dan tokoh publik— yang seharusnya menjadi pelindung dan pendorong kemajuan anak bangsa — justru ikut memperkuat pola pikir tersebut. Memilih media luar, produk luar, dan tenaga ahli luar untuk kepentingan pribadi, seakan menjadi standar prestise baru.

Padahal, ketika kita tidak menghargai karya sendiri, kita sebenarnya sedang melemahkan fondasi bangsa.

Sudah saatnya masyarakat, termasuk para pemangku kepentingan, membuka mata lebih luas. Jurnalis lokal harus dihargai bukan hanya karena kedekatan mereka dengan masyarakat, tetapi karena kualitas karya yang tidak kalah kompetitif. Produk dalam negeri harus dipandang sebagai hasil kerja inovatif yang layak didukung, bukan sekadar “pilihan kedua”.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang percaya pada kekuatan dirinya sendiri. Dan itu dimulai dari hal paling sederhana: berani memberi ruang, kesempatan, dan penghargaan kepada karya anak negeri, sebelum dunia luar melakukannya lebih dulu.




Pangeran Dhangdhut

Posting Komentar

0 Komentar